Menjawab Tanda Tanya
"Aku ingin jadi apa ya?"
Adalah pertanyaan dari lisan seorang murid tingkat akhir.
Padaku, ia menjelma cermin lisan sendiri sekian tahun lalu dengan tanda tanya pengap yang masih mengendap setahun terakhir.
Masih ada.
Dalam gelas rencana cita-cita, panas euforia masa muda seadanya mengaduk cemas. Kenang manis masa lalu berpadu dengan bayang idealis masa depan semampunya menjelma katalis semangat waktu lemas. Tanda tanya masih belum larut dalam pahit manis kopi realitas, mungkin perjalanan temukan jawabnya adalah kafein penjaga ingin terus bernapas.
Ingin bernapas.
Tanda tanya tak hilang. Ia hanya tak meradang sementara diri disebut sedang bertualang dari satu pengalaman ke pengalaman lain. Tanda tanya dalam diam tetap bertambah besar, lalu waktu mengayaknya menjadi tanya baru yang lebih lembut dan mengerucut. Kadang ia hadir bermaksud menyudutkan semangat yang surut. "Katanya mau jadi ini? Katanya mau jadi itu?" berputar tanpa istirahat dalam labu motivasi yang berdebu. Bilik jantung dalam dada kiri terus memompa darah, diri juga harus mengambil langkah. Berangkat lagi dengan tekad sederhana. Semua organ tubuhnya juga peka, ia hanya ingin bernapas dengan lega.
Menjadi lega.
Menjadi tenang setelah segala rupa. Menjadi lapang menerima segala adanya. Menjadi ruang untuk tanda tanya bersuara kembali tentang apa maunya, bermuara inisiasi tentang bagaimana baiknya.
Bila dunia berputar seperti roda, tidak peduli sebesar apa sepedanya, ia jawab tanda tanya sebisanya. Tidak peduli sebesar apa pertanyaannya, kala ia tak tahu lanjutan jawabannya, koma-koma berdiri dengan penuh percaya diri sebagai jeda melindunginya dari titik menyerah. Tidak peduli sebesar apa rasa takut, ia hanya berusaha tak larut dalam tanda tanyanya sendiri.
Tanda tanyanya sendiri. Tanda tanya tentang dirinya sendiri. Pencarian, pertikaian, perdamaian, pertumbuhan dalam dirinya sendiri. Dijawab seumur hidupnya yang hanya sekali. Dicoba selama hidupnya yang pertama kali.
#30haribercerita
#30hbc22
#30hbc2206