Disclaimer: postingan ini kutulis dengan niat buat sharing saja tanpa mengglorifikasi apapun.

10 September. Hari dimana dunia merayakan World Suicide Prevention Day (WSPD) atau Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia.

September 2020 jadi waktu pertama kali aku tahu bahwa dunia yang fana ini ternyata merayakan hari pencegahan bunuh diri. Itu pun kutahu dari pesan broadcast di WhatsApp tentang webinar yang diadain suatu komunitas bernama Youth Empowerment Indonesia. Setelah itu, tiap 10 September jadi penanda tahunan keduaku (setelah hari ulang tahun) bahwa alhamdulillah masih dikasih Allah kesempatan hidup.

Aku pernah merasa terlalu hopeless tentang hidupStres sih ada, tapi bukan stres baik karena bikin mikir buruk terlalu jauh. Jauhnya sampai mikir: gimana kalau meninggal aja. Dulu kukira itu cuma pemikiran sesaat, tapi ternyata "sesaat"-nya itu terjadi berulang kali. Tahu-tahu sudah dua tahun sering kepikiran begitu.

"Kamu kurang bersyukur."

Tiga kata. Sering aku dengar tiga kata itu, baik dari orang lain maupun kepala sendiri. Duh, yakin banget ya ngerti seberapa ga bersyukurnya orang lain. Padahal mengucapkan tiga kata itu pada kepala orang suicidal bukan ide bagus. Kupikir keputusan untuk tetap melanjutkan hidup sudah termasuk wujud bersyukur. Makanya, ketika di dalam kepala sedang setengah mati melawan pikiran buruk, lalu tiga kata itu tiba-tiba masuk, rasanya kontra. Meski niat hati jadi pengingat baik, tapi buat beberapa orang cukup judgemental juga.

Selain ucapan-ucapan judgemental, aku juga pernah termakan lirik lagu Lomba Sihir, grup musik yang kutahu karena di dalamnya ada Baskara Putra alias Hindia. Lagu yang kumaksud judulnya "Semua Orang Pernah Sakit Hati". Lagu itu sebenarnya bagus. Aku suka liriknya (coba dengerin juga!), kecuali satu larik:

"Semua orang pernah ingin mati."

Aku tidak menyalahkan larik itu maupun membenci Lomba Sihir. Sebenarnya aku mengerti larik di lagu itu konteksnya biar orang ga merasa menderita sendirian dan bangkit melanjutkan hidup meski dirinya sakit hati. Mungkin ada satu waktu kudengar lagu itu di masa mencari validasi atas emosi sendiri dan aku memercayai lariknya begitu saja, jadilah kukira menjadi suicidal itu normal. Padahal tidak.

Tidak semua orang ingin mati. Orang dengan pikiran bunuh diri bisa jadi membutuhkan pertolongan, termasuk pertolongan dari profesional.

Oktober 2021 akhirnya aku memutuskan untuk periksa ke psikiater. Itu jadi keputusan yang tak pernah kusesali. Prosesnya dimulai dari bicara terus terang ke Ibu, cari rujukan di puskesmas, sampai konsul dengan dokter di rumah sakit. Bersama perempuan yang tak lepas dengan kernyit dahi khasnya itu, dr. Ana, aku banyak bertanya dan ditanyai. Inti acara periksanya cuma ngobrol. Katanya itu namanya psikoterapi. Pulang periksa, aku mendapat pencerahan sampai bisa kepikiran Pengen Jadi Nukleofil.

Kalau ditanya, "Recommended ga konsul ke profesional?", jawabanku adalah iya. 

Secara finansial, aku periksa dengan BPJS, jadi hanya membayar untuk biaya parkir rumah sakit. Secara personal, aku merasa jadi lebih mengenal diri sendiri, lebih tahu batas capek dan batas istirahat diri. Namun, yang perlu diingat juga adalah diagnosis di konsul pertama bisa jadi berubah. Sangat wajar untuk konsul lebih dari sekali. Seorang anxiety disorder survivor, Tenni Purwanti, di buku Butterfly Hug menulis bahwa ia baru benar-benar mendapat diagnosisnya setelah konsul ke psikolog selama 2 tahun.

Aku sendiri hanya 2 kali konsul. Hanya 2 kali karena keluhanku berkurang dan aku seperti sudah cukup bisa menghadapi hari-hari sendiri. Sekarang waktu rujukanku sudah habis dan aku masih bisa berpikir untuk terus hidup. Namun, aku tidak tahu apakah berhenti di konsul kedua itu langkah yang tepat. Kondisi mental orang berbeda-beda. Kalau suatu waktu kamu sendiri konsul, lebih baik pastikan langsung ke dokter atau psikologmu ya.

Ada satu hal lagi yang membuatku sadar bahwa proses periksa ini jadi keputusan yang baik. Belum lama ini, aku menemukan thread di Twitter dari seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan. Di thread itu, beliau membahas sedikit tentang buku Kamu Tidak Salah karya seorang psikiater juga, Jung Hyeshin. Ada satu cuplikan buku itu di thread yang menarik perhatianku: 

Credit dan thread selengkapnya: @ndreamon
Aku cukup setuju dengan cuplikan buku di atas. Karena kalau aku ditanya, "Setelah konsul, sembuh ga?", aku tidak tahu bisa dibilang sembuh atau tidak. Aku merasa lebih baik saja. Misalnya, kalau dulu aku pernah begitu takut membuka chat tertentu di WhatsApp tanpa alasan jelas, sekarang aku cukup bisa mengatasinya. Mungkin itu aku terlalu takut melihat respon orang. Kata dr. Ana, aku tidak boleh melarikan diri dan ketakutan itu harus dihadapi. Jadi, kalau kejadian lagi, aku akan memberi waktu. Misal ada chat masuk pukul 19.55, maka aku menyiapkan diri dan baru membuka WhatsApp pukul 20.00.

Sebenarnya ada banyak serangkaian kejadian menyertai bagaimana aku merasa lebih baik sekarang. Barangkali karena aku lega telah bicara terus terang dengan Ibu sebelum konsul dan mendengar kawanku (hai, Nisa!) yang meyakinkanku untuk periksa. Barangkali juga karena aku melihat banyaknya orang di rumah sakit yang sedang mengantri obat dan berjuang pulih, menulis catatan kecil sepulang konsul, juga mendengar afirmasi dari ibu-ibu puskesmas yang mendukungku untuk periksa.

Merasa lebih baik bukan berarti gejolak emosi yang tidak kuinginkan berhenti begitu saja. Pada akhirnya, para profesional hanya membantu. Aku (dengan kuasa Allah) adalah pemegang kendali atas emosi sendiri, pikiran baik dan buruk sendiri. Mengenali diri sendiri tetap jadi PR penting dan aku masih belajar terus untuk itu. Dalam proses belajar itulah, kusadari sebenarnya aku sendiri, tapi tidak sendirian. Banyak orang baik dan hal-hal baik yang membantuku. Ada lebih banyak hal mendorongku untuk tetap melanjutkan hidup. Entah bagaimana harapan untuk hidup ternyata selalu ada. Hingga puncaknya, aku sangat bersyukur pada Allah untuk itu semua.

September tahun ini, tahun depan, sampai September terakhirku di dunia yang fana ini, aku akan berusaha membiarkan denyut kecil di dada kiri menemani. Bersama dengan prinsip tidak menormalisasi pikiran buruk sampai ingin mati, menyadari hal-hal kecil yang berharga, semoga setiap tahun masih bisa berucap syukur sesederhana, "Senang bertemu kembali, September."
Apapun yang kau idap atau menghantui, bukan halanganmu untuk kalahkan hari.
-RAN & Hindia, "Si Lemah"

#30haribercerita
#30hbc22
#30hbc2204
#30hbc22keputusan