Satu April
Satu april. Tanggal ini tanggal yang
identik dengan fenomena April Mop. Fenomena dimana seseorang melakukan
kebohongan terhadap orang lain lalu berdalih dengan berkata, “April Mop”. Dua kata menyebalkan. Menyebalkan sebab aku
pernah merasa sebal karenanya. Kenapa ya tetap ada saja orang yang melakukan
hal menyebalkan ini? Barangkali sekadar untuk senang-senang atau, oh! Barangkali
untuk menyampaikan sesuatu dengan lega. Sesuatu yang sebelumnya tidak berani
jujur dikatakan, tapi malah bisa fasih disampaikan dengan topeng kebohongan.
Kali ini aku akan bercerita tentang si
penipu ulung. Ya, ia menyebut dirinya sendiri seperti itu. Ia adalah saksi dari
April Mop-ku yang pertama kali. Jadi, waktu itu 1 April dini hari. Aku sedang
bergelut dengan tugas duniawi, menulis sesuatu tentang cuka Dix*. Cuka yang
rasanya asam itu ikut menjadi saksi April Mop-ku yang pertama kali, so sour! Namun, beberapa waktu kemudian,
kebohongan di dini hari itu tidak lagi menjadi kebohongan. Jadi, akhirnya si
penipu ulung berbohong tentang kebohongannya sendiri.
Membohongi diri sendiri. Sebenarnya bukan
hal besar, tapi hal kecil yang kadang terjadi tanpa sengaja. Aku tidak terlalu
kaget dengan kebohongan si penipu ulung karena ternyata aku juga sering
berbohong dengan diriku sendiri. Ternyata. Setelah kuakumulasi. Sekarang,
giliran paragraf ini menceritakan tentangku. Aku sering berbohong bahwa aku
baik-baik saja. Aku sering menyangkal aku tidak ingin bertemu dengan yang telah
lalu. Aku sering membuktikannya ketika aku kembali menulis puisi. Aku lebih
banyak menulis puisi tentang kesedihan, kesedihan jadi makin abadi dalam
tulisan, dan aku jadi terjebak sendiri. Ketika aku ingin menulis puisi yang
lain, ingatan tertuju pada hal-hal sedih, hal-hal rindu. Mungkin karena aku belum
benar-benar berpindah dan aku berusaha berpindah.
Usaha takkan mengkhianati hasil.
Belakangan ini aku tidak lagi percaya kalimat itu. Aku berusaha melupakan,
tidak lagi membohongi diri, tapi kenyataan yang terjadi adalah aku makin ingat.
Hari-hari yang kupikir hari baru rasanya hanyalah April tanggal satu yang
berulang-ulang, dengan aku yang mendustakan rasa yang masih bersarang. Lalu
kuingat tentang nasihat:
Waktu adalah sebaik-baik obat penyembuh.
Halah. Nasihat itu tidak bekerja padaku.
Aku malah menyalahkan waktu. Itulah aku yang dulu. Sekarang memang beda? Belum
sepenuhnya, tapi aku mulai mengerti cara kerjanya.
Adalah dengan tidak berusaha.
Sesuatu yang tidak ingin dilepas tidak
akan benar-benar tumpas kalau masih dipegang. Ingatan, sesuatu yang tinggal
dalam kepala, tidak bisa dipegang, bisa hilang, tapi juga bisa seenaknya
datang. Lalu bagaimana mengendalikan ingatan yang tidak ingin lagi diingat? Coba
dengan tidak mengingat, lebih tepatnya tidak berusaha mengingat. Aku tidak terlalu
menggeluti biologi, tapi aku masih mengerti cara kerja memori dalam saraf inti.
Sesuatu yang diingat berulang-ulang akan lebih lama tinggal dalam kepala. Jadi,
kalau ada sesuatu yang tidak ingin tinggal dalam kepala, ya, jangan
diulang-ulang.
Memang paling benar adalah tidak
memikirkan sesuatu yang tidak penting dipikirkan. Fakta yang sering dipatahkan
kepalaku sendiri saat malam datang. Menulis ini, sebenarnya sama saja membawa
ingatan yang tidak kuinginkan datang kembali, tapi aku sudah tidak keberatan. Melupakan
memori yang menjadi saksi sejarah hidup rasanya sulit sekali, mungkin mustahil.
Ya sudah, tidak apa. Tidak apa-apa memiliki banyak memori tentang kesedihan.
Tidak apa-apa masih merindu. Otak bisa apa kalau memang sudah terlanjur masuk
ingatan jangka panjang? Kalau sampai menyakiti kepala sendiri hanya untuk
melupakan, tolong jangan, itu keterlaluan. Ikhlas. Rela pada hal-hal yang
tinggal dalam diri, menerima kekurangannya berarti menerima diri sendiri.
Tidak apa. Hari baru itu nyata, buat apa
mengurusi delusi?