Kabarnya sekarang dia adalah orang pandai mengeluh yang berharap sembuh. Setengah mati ditumbuhkannya percaya yang pernah runtuh, tapi rasanya waktu hanya menyepuh tenangnya yang sebentar bersauh. Dia tidak ingin bertaruh apa-apa, gantinya tanda tanya-tanda tanya tentang kapasitasnya bergiliran lahir pingsan dalam kepala.

Mati, mati, mati. Matanya memandang berbeda pada balkon dingin pemikat ingin melarikan sakit dengan melompat. 

Tak tepat, tak tepat, tak tepat. Matanya ganti memandang ke belakang pada malam, pagi, dan siang yang takkan bisa lagi terulang. Banyak. Sudah banyak hari rupanya dia bertahan. Sudah banyak hari rupanya dia terus berjalan. Itu belum termasuk hari-hari di tahun kabisat, hari-hari yang berlalu begitu lambat, hari-hari yang hanya ingin terlewat, hari-hari yang penat.

Belum tamat. Belum. Dia hanya butuh istirahat meski dia mengerti hari esok tak menjanjikannya apa-apa. Tepatnya, cara kerja urusan-urusan dunia yang ia percaya tak lagi sama seperti sebelumnya. Memberi tak berarti pasti menerima. Berharap tak berarti pasti terkabul nyata.

Percaya. Barangkali hanya percaya yang masih menyala dalam harapan-harapan cemasnya. Nyala yang mempercayai kapasitasnya, kapasitas untuknya tetap pantas bernapas di depan bekas-bekas luka dan dosa, kapasitasnya menjadi seorang manusia.