Selasa, 11 Juni 2019


Kala itu, aku pergi ke Yogya bersama dua kawanku, Rahma dan Tias Prasetya Utami (aku biasa memanggilnya TPU). Aku masih ingat, hari itu adalah hari Minggu. Kami mengunjungi beberapa tempat dan ikon terkenal dari Kota Pelajar, salah satunya adalah Universitas Gadjah Mada. Untungnya di hari Minggu, UGM tidak terlalu ramai saat itu. Di sana, kami pergi ke masjid kampus. Ketika kami duduk-duduk di teras masjid, ada gerombolan anak laki-laki mendatangi kami. Mereka masih kecil-kecil, mungkin masih kelas TK atau SD. Mereka datang bersama seorang mbak-mbak, barangkali itu pendamping mereka. Setelah aku bertanya, ternyata mereka adalah gerombolan dari semacam seminar motivasi yang sedang diadakan di Yogya pada hari itu. Anak-anak tadi berasal dari berbagai kota. Kalau tidak salah, ada yang dari Semarang, Boyolali, Yogya, dan kota lainnya. Aku tidak sempat mengabsen mereka semuanya.

Satu per satu, anak-anak tadi meminta kami mengisi kertas yang mereka bawa. Kami disuruh mengisi satu prestasi yang pernah kami raih serta membubuhkan nama kami di sana. Setelahnya mereka akan berterima kasih dan menemui orang lain untuk melengkapi kertasnya sampai penuh. Aku sempat membaca prestasi-prestasi lain di kertas itu. Mulai dari prestasi karena membantu ibu, prestasi tingkat sekolah, daerah, hingga internasional. Aku cukup takjub dengan prestasi tingkat internasionalnya karena ya.. selain kebetulan ia bisa berprestasi di negeri yang sangat ingin kukunjungi, siapa juga yang tidak senang mengharumkan nama negeri? Namun, lebih dari itu, aku lebih takjub karena orang-orang hebat dalam kertas itu sedang berada di tempat dan waktu yang sama denganku kala itu. Benar-benar dekat. Satu tempat. Satu sempat.

Rupanya di sekitarku ada lebih banyak orang hebat tanpa kuketahui sebelumya. Mereka  melewati bahkan berada di umur yang sama denganku. Mereka juga berjuang.
"Semua orang berjuang dalam jalannya masing-masing. Mungkin tanpa mereka tahu, sesederhana apapun perjuangan bahkan prestasinya, mereka telah menggugah semangat juang bagi orang lain. Mengingatkan lagi bahwa diri ini tidak sendirian, tidak berjuang sendiri.”
Selepas dari masjid, aku dan dua kawanku berjalan mengelilingi UGM yang rindang. Rupanya di sepanjang jalan, ada pula beberapa gerombolan seperti tadi, dengan kakak pendamping yang berbeda-beda. Kami juga dimintai mengisi kertas lagi seperti tadi. Kali kedua ini, aku sempat bertanya kepada salah satu dari adik kecil tadi tentang cita-citanya. Dia menjawab bahwa dia ingin menjadi seorang pilot. Kemudian adik itu kembali pada gerombolannya.

Tampak begitu tinggi, bukan? Seorang anak kecil yang kemungkinan besar belum mengenyam ilmu dasar penerbangan ingin menjadi seorang pilot. Dia juga berkata tanpa berpikir panjang, tapi membuatku merenung cukup panjang.

Tampak biasa jika anak kecil bercita-cita setinggi-tingginya. Namun, mereka punya cita-cita, sesuatu yang bisa mereka tuju sembari masa bermain mereka. Aku, sebagai orang yang beranjak dewasa, merasa malu. Aku belum punya cita-cita setinggi dan semantap itu. Kalau kuingat lagi, saat kecil aku juga tidak punya cita-cita sebesar itu. Pernah terpikir sekali dua kali untuk menjadi suatu profesi, tapi selalu berhenti dan terus balik bertanya pada diri sendiri: apakah aku benar-benar menyukai pekerjaan itu?

Semakin dewasa ini kurasa lebih banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam sekali menentukan cita-cita. Tentang kemampuan diri, bakat dan minat, finansial, saingan dan keketatan, prospek kerja di masa depan, dan lain-lain. Padahal intinya hanya satu, bukan? Cita-cita berarti keinginan terhadap sesuatu, mungkin juga tentang suatu pekerjaan yang ingin dilakukan di masa depan. Menentukan apa yang kusukai saja susah, makanya sejak SD aku tidak terbiasa berjuang atas nama profesi cita-cita. Aku memang punya negara-negara yang ingin kukunjungi, beasiswa yang ingin kudapat, orang-orang yang ingin kukenal, dan lain sebagainya. Namun, aku belum tahu pasti pekerjaan apa yang ingin aku tekuni untuk mencapai itu semua.

Aku belum mengerti hingga aku menyelesaikan masa SMA. Meskipun sejak kecil merasa tidak punya pekerjaan impian, tapi setidaknya aku bersyukur telah melewati proses hidup selama ini dengan baik. Melewatinya bukan berarti aku tidak memikirkan masa depan sama sekali. Mau bagaimanapun, memiliki tujuan itu penting, setidaknya tahu apa yang ingin dilakukan, bukan?

Belum memiliki tujuan tidak selamanya buruk. Selagi masih ada waktu, lebih baik tidak terpaku pada tujuan yang belum tentu. Menyelesaikan apa yang di depan mata terlebih dahulu baiknya jangan diremehkan. Seperti salah satu kutipan favoritku:
"Betapa bodohnya manusia, dia menghancurkan masa kini sambil mengkhawatirkan masa depan, tapi menangis di masa depan dengan mengingat masa lalunya."
-Ali bin Abi Thalib
Jadi, tetap semangat jika ada dari kalian yang merasa belum punya mimpi atau mimpi masa kecil rasanya sudah mustahil. Meski hidup di dunia akhirnya mati, tapi apa mau hidup tanpa arti? Jangan lupa selalu berbuat baik sebab apa yang kita lakukan sejatinya kembali pada kita, kan?
"Tak apa bila belum mengerti, tapi baiknya tetap mencari apa yang benar-benar ingin dilakukan dalam hidup. Tak apa bila tak ada korelasi antara impian masa kecil dengan masa dewasa. Waktu kecil, tidak salah bermimpi tinggi sebab waktu hidupnya relatif lebih panjang. Ketika dewasa, tidak apa berganti-ganti mimpi sebab dewasa memang harusnya lebih hati-hati. Selagi ada waktu, jangan takut dan jangan meremehkan kuasa Tuhan."
Semangat mewujudkan mimpi!

Yogyakarta, 25 Maret 2018
Difoto oleh salah satu mbak pendamping adik-adik seminar
di depan Masjid Kampus UGM

Orek-Orekan Salma . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates