Jumat, 20 April 2018

Aku dan rombongan dari sekolahku mengunjungi Pulau Bali mulai 9 hingga 13 April 2018. Aku tidak bicara banyak tentang apa yang kulakukan di sana karena postingan ini kubuat bukan untuk berbagi kisah, tapi aku ingin berbagi hikmah. Barangkali beberapa Sekadar Coretan-ku nanti juga akan berisi catatan perjalanan dan opiniku seperti ini. Kalaupun pendapatmu tidak sesuai denganku tak apa, wajar saja, namanya juga opini.

Aku berbicara perihal barang bawaan kawan-kawanku. Aku melihat banyak sekali kawan yang menggunakan koper untuk menyimpan sandang dan apapun yang mereka butuhkan. Aku sedikit kaget sebenarnya karena saat kunjungan pertamaku ke Bali, aku hanya membawa satu tas ransel dan satu tas pinggang ukuran sedang. Seingatku, hanya sedikit kawan yang membawa koper besar kala itu. Aku pikir, kebutuhan masyarakat kota memang lebih banyak. Tapi ternyata kupikir,
"... seiring bertambahnya usia memang bertambah pula kebutuhannya. Apalagi bagi wanita."
Aku pun yang akhirnya memilih membawa sebuah ransel dan koper jinjing, tapi rasanya masih sempit! Namun, masih banyak kawan yang membawa barang bawaan lebih banyak dariku, lebih sederhana juga ada. Dari situlah, aku pikir bahwa banyak orang yang satu tujuan dengan kita, tapi apa-apa yang mereka bawa belum tentu sama. Kita tidak bisa menganggap bawaan mereka pasti sama isinya dengan kita karena setiap orang (harusnya) tahu apa yang dibutuhkannya.
"Hal ini mirip dengan sebuah perjuangan. Banyak orang yang berjuang mencapai hal yang sama dengan kita, tapi apa-apa yang mereka bawa untuk berjuang itu berbeda sesuai kebutuhan masing-masing. Selama perjuangan itu pula, setiap orang juga akan berjuang dengan caranya sendiri. Meskipun ada beberapa hal memang harus sama caranya, tapi hasil akhirnya nanti pasti ada bedanya, banyak membuahkan beragam individu. Lalu apa bedanya? Bagiku, perbedaannya terletak pada seberapa layak perjuangannya dan bagaimana ia menikmati masa-masa itu."
Selanjutnya, aku teringat dengan ucapan dari Bli Made, tour guide busku kala itu. Entah awalnya ia berbicara bagaimana, tetapi kurang lebih tentang jatuh cinta. Aku pun membalasnya, "Masih anak sekolah, Pak." Kemudian, Bli Made menjawab kurang lebih begini,
"Ya gapapa, anak sekolah gapapa jatuh cinta. Malah dulu kata guru saya, kamu boleh jatuh cinta sama teman sekelas biar semangat belajar, biar semangat ke sekolah. Jadi, cintanya cinta monyet aja, jangan cinta-cinta kaya orang dewasa."
Kurasa lumayan oke juga katanya biar semangat belajar. Tapi pada akhirnya memang tidak sesederhana itu jika masa sekolah sudah berakhir. Jadi, kupikir cinta masa sekolah itu sewajarnya saja, diambil sisi positifnya. Jangan meninggalkan kewajiban sebagai pelajar. Jangan melupakan hakikat sekolah sebagai tempat menimba ilmu.

Kalau ada beberapa orang berpikir bahwa sekolah bukan tempat yang tepat untuk menjadi pandai, menurutku itu tergantung ia menyikapi dan merealisasi 'belajar' itu sendiri. Sebab untuk dapat hidup dan menyiapkan kematian dengan baik, manusia harus belajar, bukan? Kalau untuk orang-orang yang merasa sekolah tidak ada sisi menyenangkannya, boleh jadi belum merasakan pengaruh sinergisme sekolah dengan jatuh cinta.

Tabanan, 12 April 2018
23/30 XI MIPA 6 2016 dan
guru bahasa Indonesia kami yang tercinta, Bapak Sujarwo

2 comments:

Orek-Orekan Salma . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates