Jumat, 28 Februari 2020


Sumber gambar: Pak Wahyu, guru SMA penulis

Berambut hitam, berusaha menjadi yang dia idamkan. Nongkrong di warung dekat sekolahan, meng-update varian baru minuman sachet-an. Sengaja berlama-lama, menunggu ia lewat bersama kawan lainnya. Nah, itu dia. Eh, ada yang beda. Sore ini ia berjalan sendiri. Menenteng tas plastik berisi sebungkus nasi, wajahnya pucat pasi menatap alas kaki. Aku ingin menyapa, tapi sadar aku siapa. Hari ini hari apa? Hari Rabu, bukan jadwalnya puasa. Lalu hari apa? Oh! Ini hari pengumpulan nilai sebelum pemilihan jurusan kuliah, tapi dia ada apa? Bukankah nilainya baik-baik saja? Yah, setidaknya daripada aku.
Mungkin dia bingung memilih jurusan kuliah. Hmm, kuliah. Sudah lama juga ya aku mengamatinya, tapi saling bicara baru sekali saja. Kala itu, aku bertugas sebagai panitia. Kini aku ingin dia melihatku sebagai seorang pria. Namun, bagaimana? Masa iya aku harus satu kampus dengannya? Entahlah.
Eh, ada apa itu ramai-ramai? Kecelakaan? Putri? Astaga, dia kecelakaan! Belum lunas mi ayam kubayar, aku menggendong tas lalu lari. Dia sudah dikerumuni banyak orang. Dia masih sadar, tidak menangis, tapi tampak kaget. Bapak-bapak yang menyerempetnya masih marah-marah, mengomeli Putri. Pandangan mata Putri kosong. Dia tampak menyedihkan. Aku tidak mendekatinya karena aku takut ia makin kalut, toh mungkin dia sudah lupa aku siapa. Aku memungut tas plastik berisi sebungkus nasi lalu kubuang ke tempat sampah karena sudah tak layak makan. Putri diantar pulang ke kosnya oleh mbak-mbak dan ibu-ibu. Alih-alih ikut, aku balik kanan dan pergi.
Aku harus bayar mi ayamku tadi. Setelah itu, pergi ke warung nasi. Buat apa? Buat Putrilah, dia mungkin lupa nasinya sudah tiada. Eh, ini apa? Berani sekali aku tiba-tiba. Tidak apa, toh seragamku masih sama dengannya. Aku tidak asing-asing amat. Mungkin juga ini tahun terakhir aku melihatnya. Aku tidak akan mendengar kebisingan kepala yang jahat kali ini.
"Permisi, Bu, Mbak. Saya satu sekolah sama Putri. Saya mau ngasih ini. Nasi dia tadi jatuh dan terlanjur kotor pas kecelakaan," ucapku menarik perhatian ibu-ibu dan mbak-mbak.
"Kamu kenal anak ini, Nduk?" tanya seorang ibu pada Putri. Masih dengan wajah lemas, Putri menggeleng kepala.
"Eh, mungkin Putri lupa, Bu, karena saya nggak sekelas juga sama dia. Salam kenal, Put. Nama saya Budi. Tadi nggak sengaja lihat orang satu seragam dengan saya kecelakaan dan mungkin ini bisa membantu Putri," terangku penuh canggung sambil menyodorkan nasi.
"Oalah, Le. Ya udah taruh sini saja, ini Mbak e masih shock," jawab seorang ibu tadi.
"Kalau gitu, saya pamit dulu, ya, Bu. Mari, Bu, Mbak. Cepet pulih ya, Put. Mari," pamitku dibuntuti deru sepeda motor.
Selama perjalanan pulang, aku senyum-senyum sendiri di dalam helm, mengagumi keberanianku hari ini. Astaga, aku kok malah senang padahal dia baru saja ditimpa celaka. Tenang, tenang. Duh, tapi tetap saja ada gejolak senang! Yah, lumayan, setidaknya ada kemajuan.
Esoknya, aku tidak menemukan Putri di sekolah. Mungkin dia berdiam di kelas atau entahlah. Pulang sekolah, aku mampir lagi ke warung mi untuk mengecek kondisi. Alih-alih mengamati Putri dari jauh, aku malah menemukannya di warung mi. Stay cool, aku memesan minum lalu memilih duduk jarak dua kursi dengannya.
Dia tidak pakai seragam, tapi pakai jaket dan celana training. Dia tampak lebih baik dari kemarin, tapi pandangannya tampak malas seraya bermain gawai. Mi ayamnya datang, Putri mendongak. Selayang pandang tertuju padaku, alisnya naik satu. Aku yang agak tersapu, eh tersipu, diselamatkan minumanku yang juga baru datang. Gelagapan aku menerima segelas minuman dari ibu pemilik warung. Mampus aku salah tingkah. Kulipat kedua lenganku jadi satu di atas meja. Aku bergerak setenang yang kubisa, memasang wajah senormal-normalnya. Kutenggelamkan kepala. Duh, sudah tiada wajah aku.
Saat kita berserah, saat itulah semesta bekerja. Kutipan dari buku karya Marchella FP itu sedang berpihak padaku. Tanpa diduga, dia angkat bicara.
"Kamu yang bawa nasi kemarin sore ya? Siapa namamu? Budi, ya?"
Sontak aku mengangkat kepala dan berkata, "Eh, oh iya, iya, bener. Masih inget ya ternyata."
"Aku lumayan kaget lo, kamu tahu namaku. Makasih ya. Habis berapa nasinya?"
"Ngga usah, ngga usah. Ngga usah diganti. Udah, santailah." 
Aku tersenyum sebaik mungkin, ia mengikuti. Percakapan pertama setelah dua tahun lalu terjadi kembali. Sesudah itu, mi ayamku datang. Putri memilih menghabiskan mi ayamnya dalam diam, aku mengikuti.
Semenjak h+1 kecelakaan itu, aku dan Putri sering bertegur sapa bila bertemu, saling mengirim pesan, saling bertanya PR meski kadang modusku saja. Meski responnya lambat, Putri masih membalas pesanku yang singkat. Entah apa yang dipikirkannya sampai ia mau membaca pesanku. Yah, setidaknya aku bisa merasakan ke-uwu-an yang sering diceritakan kawan-kawan. Namun, keadaan ini belum membuatku berani menawarkan diri menjadi tempat cerita privasinya berlabuh. Padahal dalam hati, mata dan telingaku siap kapanpun ia berkeluh. Jadilah aku belum menemukan jawaban dari wajah sendunya siang itu. Tak apa. Aku mengapresiasi perkembangan pesatku dua minggu terakhir ini.
"Bud, yok!" kata Rio tiba-tiba. Aku akan pulang bersama Rio sore ini karena Rio bilang ingin nebeng untuk beli seblak di belakang gedung olahraga. Sesaat sebelum kakiku naik motor, arah mataku parkir di sudut pertigaan dekat sekolah. Siapa itu yang tampak membeli buah?
Putri terlihat memandang ke arahku, tapi wajahnya datar. Bukan, bukan aku. Dari tempatku berdiri, matanya tampak melihat sisi kiriku. Aku tengok ke belakang. Tiada yang spesial, hanya beberapa murid sedang menunggu jemputan. Ada juga seorang siswi yang mencium tangan ayahnya lalu duduk ke atas sepeda motor. Kulihat depan lagi, Putri sudah tiada di dekat gerobak rujak tadi.
"Eh, anu, duluan aja, Bro. Ntar kalau udah kelar beli seblak, taruh aja motor gue di warung mi ayam sebelah sekolah," ucapku pada Rio.
"Lah, nanti gue pulang tetep jalan dong," keluh Rio.
"Duh, gimana ya. Ya udah deh, nanti dari warung mi, gue tebengin lu sampe rumah. Sekarang gue ada urusan bentar nih, mendadak. Dah, sana, ati-ati," ucapku pada kawan sekelasku itu lalu pergi.
Aku berhasil menyamai langkah kaki Putri. Dia menemuiku dengan sorot mata ramah. Rencananya, aku akan mengajaknya makan mi ayam, tapi katanya ia ingin makan nasi sayur. Jadilah aku si anak micin ikut mengonsumsi klorofil.
"Nasi yang dulu itu, aku beli di sini juga," kataku sambil mengisi waktu antre makan.
"Wah bagus ya, udah hafal langganan kuliner anak kos sini," balas Putri.
"Oh, ya, jelas. Soalnya temenku sekelas ada empat anak, mereka ngekos semua. Jadi tahu deh. Ngomong-ngomong, kenapa kamu ngga sekolah di deket rumah aja, Put?" terangku.
"Pertanyaan sejuta umat. Ya, ngga apa-apa sih nyoba di sini."
"Kamu ngga kangen keluarga di rumah gitu?"
"Pertanyaan setengah juta umat. Ya kangenlah, tapi kelamaan juga biasa aja. Kenapa tiba-tiba nanya gitu?"
"Ngga ada apa-apa sih. Tadi ngga sengaja liat kamu pas beli buah di sana, kamu lagi nengok ke arah cewek yang dijemput bapaknya gitu. Kali aja lagi homesickHomesick ya?"
"Oalah. Ngga homesick juga sih, tapi keinget aja dulu pas masih zaman dianter Bapak ke sekolah, biasanya salim Bapak dulu. Sekarang ya, paling kalau pas pulang ke rumah aja."
Entah apa yang merasukiku, aku menepuk-nepuk kepalanya yang dibalut kerudung putih sambil berkata, "Ya udah, ngga apa-apa. Besok Sabtu bisa pulang."
ByarMeledaklah kecanggungan di antara kami. Dia balik kanan dan aku baru menyadari antrean makan sudah sepi. Dia memesan makanan untuk dua orang dan duduk kembali. Fyuh. Aku merasa lega ia tidak bertanya kenapa-napa.
"Nih nasi bayem. Ngga apa-apa, kan?" tanya Putri.
"Ngga apa-apa. Makasih dipesenin," balasku se-cool mungkin.
"Oke, sans. Eh, tadi kenapa tiba-tiba tanganmu mendarat di kepalaku?"
Duh, dia pake nyinggung juga. "Eh, sorry, tapi kalau mendarat di tanganmu kan bukan mahram."
Dia tersenyum tipis lalu membalas, "Halah modus."
"Hehehehe. Besok Sabtu kamu pulang ngga?" tanyaku sambil mulai menyendok nasi.
"Belum tahu, agak gimana gitu kayanya kalau pulang ke rumah besok."
"Boleh tahu kenapa?"
Dia menghentikan makannya sebentar, melihatku dua detik, lalu kembali melihat piring. Aku membaca air mukanya dan lebih dulu berkata, "Kalau ngga mau cerita juga ga apa-apa kok. Santai, Put."
"Eh, bukan gitu sih, tapi maaf nih jadi curcol. Jadi aku lagi galau-galaunya milih jurusan kuliah, sedangkan bapakku terus nanyain aku milih jurusan apa. Ya gimana ya, kesel aja ditanyain terus."
“Emang jurusan yang kamu galauin apa?”
“Banyak, soalnya makin SMA ini, kuitung cita-citaku ada banyak. Terus ya, akhir-akhir ini aku sering banget denger kalau nyari jurusan kuliah itu yang sesuai passion. Nah masalahnya, aku belum tahu jelas nih passion-ku apa. Kalau kamu mau masuk jurusan apa, Bud?" jawabnya sebelum menyuap nasi.
“Aku mau masuk pendidikan dokter."
"Wuih, keren. Pantes kamu belajar keras gitu ya, sampe nanya-nanya soal ke aku."
Duh, dia mulai membahas alibi modusku. Aku membalas, "Eh, ya, gitulah, tapi kamu masih jauh lebih pinter sih. Aku yakin kamu berhasil masuk jurusan pilihanmu nanti."
Dia menghentikan makannya sebentar, melihatku dua detik, lalu bertanya, “Kamu ngga takut ya, Bud?"
Aku menghentikan makanku sebentar, baru menjawab, “Takut?”
“Iya, takut. Takut gagal masuk jurusan pilihanmu. Takut ngga?”
“Hmm, kalau takut, ada sih. Kemungkinan ngga diterima kan juga pasti ada, tapi seenggaknya aku udah berusaha dan berdoa yang terbaik buat masuk ke sana. Emang kenapa? Kamu galau karena kamu takut?”
Dia menelan makanan di mulutnya, lalu berkata, “Jujur, iya, Bud. Mungkin saking takutnya, aku jadi ngga berani milih jurusan yang menurutku susah. Terus kenapa ya orang-orang kalau kutanyain kaya kamu tadi, jawabnya kebanyakan tuh intinya do your best, God will do the rest. Kenapa ngga, ya udah realistis aja sesuai kemampuan yang ada gitu daripada nantinya kecewa, kan ya semua orang tahu kan kapasitas dirinya masing-masing.”
Aku menelan suapan nasi terakhirku. Makananku sudah kandas, obrolan ini mulai panas. Aku menghela napas, menatap langit-langit warung sambil berusaha membalas pernyataan Putri dengan pantas.
“Sayangnya beberapa orang belum tahu pasti kapasitas dirinya, Put, termasuk aku. Aku merasa dengan menghadapi ujian seleksi nanti, aku akan mengerti kapasitasku, seberapa layak aku mendapatkan yang kuinginkan.”
“Kalau gagal dapetin yang kamu inginkan gimana?”
“Hmm, kalau gagal, ya udah. Mungkin nanti aku akan menjalani jurusan lain atau ikut lagi ujian tahun depan. Entahlah, sebenarnya aku juga belum ngerti-ngerti amat, Put, passion-ku apa. Namun, yang pasti, kalau aku udah berjuang, setidaknya ya emang aku udah berusaha. Kalaupun gagal, toh aku udah nglakuin yang maksimal. Jadi, aku akan lebih menghargai perjuanganku, Put, dengan memaafkan diri sendiri dan berjuang lagi untuk hari-hari berikutnya.”
“Yah, pasrah amat, Bud, aku dengernya.”
“Ya mau gimana lagi, Put. Setelah beberapa kegagalan kecil berlalu, aku ngga mau terlalu memaksakan apa mauku. Udah ngerti apa yang kumau aja udah bersyukur banget, Put, tapi kan mauku itu belum tentu juga mau-Nya Yang Maha Kuasa. Aku yakin kok Yang Maha Baik akan memberikan yang terbaik di waktu yang terbaik pula. Minimal, aku berjuang  supaya aku ga nyesel-nyesel amat di kemudian hari, apapun hasil perjuangannya nanti. Mantap deh, gue bisa bilang ginian.”
Pandangan mataku turun dari atap warung. Putri diam seperti sedang mencerna kata-kataku dan makanannya yang sudah raib dari piring. Aku tidak akan memaksanya mengerti sekarang juga. Aku bisa mengerti kalimatku sendiri juga karena aku telah merasakannya bertahun-tahun. Rupanya ada juga gunanya tahun-tahun penantian itu. Aku bicara tadi seakan sedang presentasi menyampaikan hasil kerjaku hingga bisa duduk satu meja dengannya seperti saat ini. Yah, mungkin kalimat tadi hanya dari mulut, tapi semoga hatimu paham, Put.
Tiba-tiba ponselku dalam saku berdering. Nomor ponsel Rio terpampang di sana. Duh, aku baru ingat. Segera aku angkat telepon itu lalu disambut suara menggebu-gebu berbunyi, “Heh, lu dimana sih, Bud? Dicariin di warung mi ga ketemu-temu.”
“Eh, gue ngga jadi ke warung mi tadi. Sorry, sorry. Lu dimana sekarang?”
“Gue di warung mi ayamlah. Lu dimana sih? Gue samperin.”
“Eh jangan, jangan. Gue yang ke warung mi aja nih sekarang, tunggu bentar di situ. Jangan kemana-mana.” Telepon kututup. Kulihat Putri baru saja usai menangkupkan muka dengan tangannya. Ekspresinya berubah saat melihatku tampak buru-buru.
“Put, sorry nih. Hmm, udah sore, aku balik duluan ya,” ucapku setenang mungkin.
“Oh, iya ngga apa-apa. Makasih ya udah mau sharing,” balasnya sambil tersenyum.
“Oke sama-sama. Dah, semangat ya, Put.” Aku beranjak pergi.
“Eh, jangan lupa bayar dulu, Bud.”
Langkah kakiku mundur lagi. “Oiya, hampir lupa. Hehe.”
 Pertemuan di warung nasi itu bagiku sudah cukup menjawab kekhawatiranku pada wajah sendunya di siang itu. Entah dugaanku yang benar atau tidak, tapi semenjak sore itu, Putri menjadi lebih terbuka denganku. Saat kebetulan berjumpa di sekolah, kami saling sapa dengan suasana lebih cair dari sebelumnya. Namun, aku banyak mendapat penolakan saat Putri kuajak makan sepulang sekolah. Katanya, ia mau cepat pulang dan belajar. Yah, tak apa, lagipula wajahnya jadi lebih sumringah dari sebelumnya. Ia tampak bergairah dan hal itu menular padaku.
Ujian datang bertalu-talu hingga akhirnya kami resmi lepas dari seragam putih abu-abu. Di satu sisi, ujian seleksi masuk perguruan tinggi masih satu bulan lagi. Waktu wisuda bukan menjadi momentum akhir perjuangan karir akademisku dan Putri. Namun, di hari puncak akhir masa SMA ini, aku ingin sekali saja berfoto dengannya. Bukan apa-apa, tapi mungkin ini menjadi hari terakhir aku bertemu dengan Putri, salah satu manusia yang berandil cukup besar selama aku menghadapi SMA.
Aku berhasil beberapa kali menangkap pandang Putri dengan kebaya merah muda. Namun, sampai acara wisuda usai, aku tidak sempat mengabadikannya dalam kamera. Pesan singkat memang membuat kami dekat beberapa bulan terakhir, tapi hal itu belum sempat membuatku berani mengajaknya foto wisuda bersama sejak jauh-jauh hari. Lagipula aku memang ingin mengajaknya secara spontan, sekaligus mengucapkan selamat wisuda secara langsung. Bagiku, bertatap muka tetap lebih menyenangkan apalagi saat merayakan momentum kehidupan.
Sore hari seusai wisuda, aku pergi ke tempat bimbingan belajar. Setelah tiada lagi jadwal sekolah, jadwal les intensif memang efektif. Hari itu, aku masuk kelas intensif terlalu awal, jadilah aku seorang diri menikmati pendingin ruangan kelas. Sepuluh menit kemudian, beberapa kawan mulai berdatangan dan mengisi kursi. Mereka kawan-kawan lama yang sudah sekelas denganku sejak semester baru. Eh tunggu, siapa perempuan yang mengintip di balik pintu kelas itu? Setelah beberapa detik berlalu, perempuan itu akhirnya masuk dan air mukanya lega melihat guru belum tiba. Eh, lah, itu Putri!
“Put,” panggilku sambil menunjukkan kursi kosong di belakangku.
“Eh, Bud,” balasnya sambil tersenyum dan agak terkejut.
Putri duduk di kursi belakangku, menaruh ranselnya, dan mulai mengajak bicara, “Kebetulan banget sekelas.”
“Iya. Emang kamu ngga beberes keluar kos?”
“Ngga, aku keluar kos pas kalau udah kelar ujian aja. Aku baru banget daftar masuk kelas ini seminggu yang lalu, eh taunya kita sekelas.”
“Oh gitu. Kamu udah mantep milih jurusan belum?”
“Udah, Bud. Doain ya aku bisa masuk psikologi, farmasi, kalau ngga statistika.”
“Aamiin. Mantap, Put. Terus mau di kampus mana itu?”
Putri mengeluarkan ponselnya dan menyalakan layar depan. “Kampus ini nih, Bud.”
Aku agak memiringkan kepala lalu berkata “Eh, sama!”
“Beneran? Wih bisa satu sekolah lagi kita.”
“Iya. Hahaha. Hmm, kalau terkabul beneran sekampus, kutraktir mi ayam deket sekolah deh, mau ngga?”
“Wah boleh, seru tuh, tapi nanti mi ayamku ngga pake micin ya.”
“Hah? Kenapa ngga pake?” Sisi pengabdi micinku heran, merasa tidak sesuai logika.
“Ya... kan ngga pake micin rasanya udah enak.” Aku menaikkan kedua alis tanda heran lalu disusul tawanya pelan. Guru les datang dan aku balik kanan, bersiap belajar di kursiku.
Aku belum tahu pasti arti kalimat terakhir Putri. Namun, yang pasti, mulai hari ini aku berjuang menuju dan berada di tempat yang sama dengannya. Kisah yang masih harus dilalui enak tak enaknya. Ah, jangan mikir tak enak dululah toh hari pertama les intensif ternyata aku sesemangat ini. Mungkin dengan adanya orang lain, belajar yang biasanya hambar akan terasa menyenangkan, seperti Putri yang ingin mi ayamnya ngga pake micin. Yah, masuk akal sih kalau keberadaan seseorang bisa mengubah sugesti orang lain. Bentar. Jangan-jangan... eh?!


@30haribercerita
#30haribercerita
#hbc162020 #hbc152020 #hbc192020 #hbc172020 #hbc072020 #hbc062020 #hbc252020 #hbc262020 #hbc272020 #hbc282020 #hbc292020

Orek-Orekan Salma . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates