Senin, 24 Februari 2020


Rumah, 24 Februari 2020
Pagi hari pertama di semester dua

Pagi ini akan menjadi kepergianku kali sekian. Sudah lebih dari tiga tahun, tapi meninggalkan rumah masih bukan perkara mudah. Tahun lalu, mungkin setelah ini aku akan menuju depan masjid itu, masjid dekat terminal. Menunggu datangnya bus antarkota antarprovinsi bersama Bapak di sisi. Menerobos kabut pagi atau menyapa sinar mentari, keduanya sudah kulewati. Menaiki bus Senin pagi, berdesakan dengan bapak-bapak tinggi, tak ada jaminan pantatku mendarat di kursi. Berseragam putih abu-abu di antara ibu-ibu, masih ada bangga dalam diriku kala itu. Aku bangga diberi-Nya kesempatan sekolah di luar kota. Namun, tetap saja banyak kali, meninggalkan rumah bukan perkara mudah.

Dulu, 26 km rasanya jauh sekali. Aku sempat bimbang akan pergi ke terminal dengan apa supaya ongkos naik bus masih ada. Ibu memang selalu bilang untuk ambil uang kapan saja, tapi kupikir buat apa perantauanku bila tak mampu menghemat uang saku. Dulu juga, aku masih rajin pulang sekali seminggu. Hari Sabtu menjadi hari paling ditunggu. Tranformasi sekolah enam hari menjadi lima hari seminggu cukup menguras tenaga, tapi juga mengkatalis rindu menjadi lega.

Awal-awal meninggalkan rumah aku merasa bebas. Kupikir tiada lagi wejangan Ibu dan Bapak. Sebab suara mereka terbawa hingga kota tetangga. Mulailah aku dilanda homesick dan hasrat menelpon orangtua tanpa alasan nyata. Jarak jadi begitu menyiksa. Puisi kerinduan mulai lahir satu dua. Namun, setelah usai, kupikir kala itu aku hiperbola saja. Rasa bebasku hanya sementara. Sisanya adalah tanggung jawab sebagai realitas yang harus tuntas sejauh 26 km itu.

Satu hal yang pasti, tanah perantauan bukan tanah pelarian. Sejauh apapun kucari diri sendiri, aku yang asli ialah aku yang merindukan rumah. Namun, rinduku pada rumah tidak selalu mencapai kulminasi. Di satu sisi, aku harus belajar menyetir ledakan emosi sana sini. Kusimpan baik-baik bagian aku yang sangat ingin menyunggingkan senyum Bapak Ibu dan membunyikan tawa adik-adik. Sebab di luar rumah, keinginan itu timbul tenggelam di permukaan perasaan. Meninggalkan rumah bukan perkara mudah sebab ada diri beserta mimpi-mimpi yang diemban sebagai amanah.

Barangkali minggu depan, bulan depan, tahun depan, atau kapanpun di masa depan, aku akan bepergian lagi. Membawa wejangan Ibu dan Bapak ke bagian lain muka bumi. Berada di luar rumah, aku membuat cerita dengan beragam manusia. Sebanyak apapun kawan menyumbang kenangan, kerinduan terhadap rumah tetap punya tempat tak tergantikan. Sebiasa apapun merantau, meninggalkan rumah bukan perkara mudah.

Orek-Orekan Salma . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates