Senin, 03 Agustus 2020



Dia menyukai tulisan-tulisan berima yang seirama melodi hari. Dia menyukai lagu dan film bertema mimpi juga penerimaan diri. Dia banyak membaca, mendengar, menonton sampai kebal sendiri dengan nasihat monoton. Selama itu, dia menyadari seakan ada jawaban yang sedang dia cari. Tentang apa? Dia tidak begitu yakin, tapi satu kegagalan di hari itu dia duga sebagai pemicu. Iya, dia pernah gagal, bisa dibilang kegagalan terbesarnya selama hidup. Setelah itu, dia merasa hasil memang bisa mengkhianati usaha. Dia jadi paham bahwa kerja dunia tak pernah sama. Sebenarnya ia meyakini Tuhan itu Mahaadil, tapi dia juga sering jatuh bangun menerima kenyataan bahwa setiap orang punya privilege berbeda-beda. Dia tahu, dia hanya harus bekerja segila-gilanya, mencoba sebanyak-banyaknya, dan berdoa sekhusyuk-khusyuknya untuk mendapat apapun yang ia minta dari-Nya. Namun, kegagalan membuatnya tak sama. Kerja dunia tak pernah sama.

Dia tahu dia berubah. Dia merasa aneh mengapa dia tidak secepat dulu, sepintar dulu, atau barangkali seberuntung dulu. Astaga, dia sekarang mengeluh. Dia tahu dia harus bersyukur. Dia tulis, dia ucap, dia rasa setiap embus napas dan denyut nadi yang menjadi tandanya masih bernyawa. Dia berusaha tak kufur pada apa-apa yang masih dia punya. Namun, Tuhan, tetap saja mudah untuk kembali rebah di titik lelah dan gelisah. Dia takut. Dia takut dengan dirinya sendiri. Diri yang menyulut emosi maupun menjemput frustrasi bagi orangtua, orang lain, dan dirinya sendiri. Diri yang tertinggal maupun menyangkal kemampuan, harapan, dan kesempatannya sendiri. Dia takut masa depan. Dia takut dan mencoba lari.

Dia melarikan diri pada hiburan. Aksara, suara, dan aksi di layar gawai membawanya sejenak lupa pada beban-beban yang nyata. Para penulis, penyanyi, dan pemain film itu bekerja dengan baik, laranya terlipur. Dia tak lagi merasa sakit, dia bangkit, tapi tak lama, lagi-lagi dia menelan pahit. Mau lari selama apa, akhirnya dia hanya mengulur masa. Dia sadar, semua hiburan tempat sedihnya dilarikan itu pada akhirnya bukan menyembuhkan. Sebab dia pikir, kesedihan bukan berupa luka yang diberi obat lalu sembuh, tetapi kepastian absolut dan rawan kambuh. Dia tiba di titik dimana dia rasa, dia hanya berlebihan dalam menerima duka.

Tumbuh dengan mengonsumsi dan memproduksi konten-konten motivasi, tidak membuatnya selalu mudah menjalani hari. Dia harus mengerti manusia hanyalah manusia. Makhluk Tuhan paling sempurna, sudah digariskan takdirnya, tapi tetap, manusia harus berusaha dan berdoa supaya bisa menerima jatah terbaik dari-Nya. Makhluk Tuhan ladangnya khilaf, maha mengharap maaf, dan tetap, manusia harus belajar supaya dapat melewati kesulitan dengan lancar. Makhluk Tuhan berbekal akal untuk berpikir dan nurani untuk merasai tentang mana yang lebih baik dan mana yang harus diperbaiki. Salah itu pasti dan setiap manusia adalah pemelajar sejati.

Beberapa minggu terakhir ini, dia mulai mengerti. Jawabannya tak ada dalam kutipan motivasi, lirik lagu, maupun narasi film. Jawabannya ada dalam hidup itu sendiri, ya mungkin begitulah cara-Nya mengajari lika liku hidup. Hidup yang berisi segala hal pasti pun tak pasti. Kini, dia sedang berusaha berhenti melaknat kerja dunia yang tak sejalan dengannya, menerpa riuh kepala, menerima perubahan dan keadaannya. Dia sedang berusaha lebih banyak mendengar nurani daripada ambisi. Dia sedang berusaha menumpulkan kemampuannya untuk denial tentang kesedihan yang pasti. Makanya, dia harus berkali-kali memberi hatinya gizi dan betul-betul mengapresiasi rohani. Maknanya, dia harusnya pintar-pintar memegang kendali atas nafsunya berkonsentrasi pada urusan duniawi.

Satu lagi. Dia mengerti tulisan ini bukan ayat kitab suci. Namun, pengingat baik dibaca berkali-kali tak apa, kan? Semoga menjadi pengingat untukku dan ada manfaatnya untukmu.

Orek-Orekan Salma . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates