Dari Bintang sampai Self-Love
"Kamu tahu titik berkilau keperakan itu? Orang bilang namanya bintang."
"Matahari juga bintang."
"Iya, tapi kilau itu keluar saat malam."
"Bukan, mungkin kamu lupa. Bintang dengan kilau keperakan itu selalu di atas sana. Dia hanya seakan tak kasat mata saat matahari sedang terang-terangnya bercahaya."
"Oh iya. Kalau begitu, dia tak sekadar bintang."
"Lalu?"
"Kilau keperakan itu kulihat seperti kita, manusia. Kita tetap indah dan terang meski kadang, ada hal lain yang membuat kita tidak kelihatan."
"Aku tidak begitu sepakat."
"Lalu?"
"Kita ini manusia memang tampak saling berkompetisi dalam banyak hal. Bintang itu terang, tapi matahari lebih terang. Namun, bukankah masing-masing kita punya dunia sendiri dimana langitnya bisa kita lukis semau kita? Yah, walau ada beberapa hal yang disebut bencana sehingga langit kita tak selalu seperti yang didamba, tapi setidaknya kita bisa berusaha, berusaha menikmati dan memandangnya dengan cara berbeda."
"Jadi, kamu lihat kilau perak itu seperti apa?"
"Aku melihatnya seperti kita, manusia. Kita yang tak perlu saling dibandingkan, bahkan menurutku, kita tak perlu terlalu banyak diuji siapa yang lebih, siapa yang kurang. Kita punya cara sendiri untuk bertahan. Kalau tentang kapan kita akan dilihat oleh dunia, hm menurutku bintang perak itu juga tidak bisa memilih untuk lebih terlihat di malam atau siang hari. Sejak lahir, kita banyak perbedaan kok. Perbedaan itu, sejujurnya aku kurang suka menyebutnya dengan kelebihan atau kekurangan. Aku lebih senang menyebutnya keunikan."
"Itu kan sama aja dengan kata-kataku tadi. Intinya kita tetap indah dengan pesona kita sendiri."
"Memang mirip, tapi aku tidak setuju kalau katamu kadang kita tidak kelihatan."
"Kenyataannya begitu. Sekarang coba, antara para orang sukses dan orang biasa seperti kita ini, siapa yang lebih dilihat orang-orang? Ya para orang sukses itulah."
"Jadi bagimu sukses berarti terkenal?"
"Ya bukan sesederhana itu. Aku bicara kenyataan saja. Ya, kan?"
"Tidak, meski secara sekilas tampak begitu. Mungkin kamu hanya tidak tahu kamu sudah sukses, seperti sukses bangun pagi, sukses mandi dua kali sehari, juga sukses bertahan menjadi temanku sampai saat ini. Hahaha."
"Bukan itu kesuksesan yang kumaksud. Hih."
"Iya, iya, aku paham, tapi aku cuma ingin kamu sadari lagi bahwa masih banyak sukses-sukses kecil yang membuatmu tetap berharga meski kamu tak sepopuler mereka-mereka itu. Kamu dan mereka memang beda dan kalian semua tetap sama-sama berharga. Perbedaan itu ga merendahkan kita. Sudah kubilang kan, perbedaan itulah keunikan kita."
"Lalu apa coba uniknya bintang itu? Mau dilihat dari sisi manapun, matahari kan yang lebih. Lebih besar, lebih terang, lebih banyak memberi manfaat."
"Hmm.. mungkin kamu cuma belum paham indahnya perbedaan alias keunikan itu. Bintang kecil itu unik dengan sinarnya yang aman dipandang mata telanjang, formasinya dengan bintang lain bisa jadi arah mata angin, bahkan langit gelap malam tanpa matahari bisa tetap indah dinikmati dengan hadirnya bintang-bintang itu."
"Benar juga."
"Ga papa, ga usah nunduk gitu. Aku pun juga sering bandingin sampai ngrendahin diri sendiri dari orang lain karena ya, kadang aku belum dapet aja pahamnya, belum paham dimana faktanya aku bisa sama-sama berharga. Namanya juga proses. Orang-orang suka nyebutnya proses self-love."
"Hahahahaha."
"Kok jadi ketawa?"
"Ngga, ngga, hahaha. Bentar, biar selesai ketawa dulu. Hahaha."
"Ya ampun.""
"Aku nunduk bukan apa-apa kok. Iya, iya, aku sudah paham maksudmu. Seru ya. Awalnya aku cuma bicara tentang kilau itu, eh kita jadi ngobrol sampai mana-mana."
"Iya. Banyak yang bisa kita pelajari dari alam semesta. Ngomongin satu bintang aja sampai bintangnya ga keliatan lagi tuh. Eh, ini jam berapa?"
"Oiya! Deadline jam sepuluh!"