Rabu, 25 September 2024

Makin tambah usia, kupikir ada beberapa hal makin tampak: daripada marah, aku lebih banyak menangis. Jujur saja rasanya dari kecil, entah kenapa aku tidak terbiasa menangis.

"Menangis akan mengaburkan pikiran. Menangis tidak menyelesaikan masalah. Menangis bukan solusi."

Benar. Itu semua benar. Sampai sekarang aku lebih dewasa pun, ucapan-ucapan itu ada benarnya.

Btw aku suka menonton film dan membaca cerita fiksi. Mungkin karena begitu jarangnya dulu aku nangis, dari SD sampai SMA, hanya ada dua tontonan dan cerita fiksi yang bisa membuatku menangis: film Korea My Mom dan anime Death Note saat si tokoh L mati. Film-film atau tontonan dengan cerita sedih atau mengharukan lainnya yang kutonton di masa-masa itu sama sekali tidak men-trigger emosiku. Di pergaulan, aku sadar aku mudah marah dan tidak dapat mengomunikasikan dengan baik kenapa aku tiba-tiba kesal dan marah. Mungkin memang aku punya anger management issue, tapi aku pun baru menyadari hal itu ternyata sebuah issue atau masalah ketika aku lulus SMA, ketika aku mulai lebih banyak membaca artikel dan informasi seputar psikologi dan kejiwaan.

Sejak lulus SMA, aku menyadari aku jauh lebih bisa menangis setelah menonton film Jepang yang berjudul The 100ᵗʰ Love with You. Tepatnya pada scene bahagia, aku menangis karena terharu. Awalnya aku tidak paham kenapa aku terharu, kenapa aku tiba-tiba menangis padahal dua pemeran utama film romance itu tampak lagi bahagia-bahagianya. Aku bingung, searching di internet karena takut itu suatu gejala penyakit kejiwaan. Ternyata bukan (ya emang agak self-diagnosed sih). Setelah itu, beberapa tahun kemudian sampai sekarang pun, aku sangat mudah menangis saat menonton film atau membaca cerita fiksi. Bukan hanya saat scene sedih, tapi juga senang. Bukan hanya saat scene senang saja, tapi juga saat merasa terlindungi, saat berpelukan. Aku jadi lebih suka cerita-cerita ringan dan menyentuh, daripada genre action atau thriller yang dulu sangat kugandrungi karena merasa 'wow keren tontonannya tidak menye-menye'.

Dua bulan lalu, usiaku bertambah lagi satu tahun. Makin tua, aku bersyukur punya keinginan menangis dan kemampuan menangis. Saat-saat tidak bisa menangis ketika ingin, rasanya tidak mudah. Bisa menyadari bahwa aku-butuh-menangis saja, alhamdulillah. Aku mampu merangkul emosi-emosiku dan mengendalikan amarahku dengan mengeluarkannya menjadi air mata dan setelah semuanya keluar, rasanya alhamdulillah ya Allah legaaa sekali. Memang, saat menangis, aku tidak bisa berpikir jernih, tidak menyelesaikan masalah, dan tidak memberi solusi. Namun, dengan menangis, aku bisa memahami bahwa tidak seharusnya aku melampiaskan amarahku begitu saja pada orang lain yang tidak bersalah. Sebelum menangis aku merasa pikiranku buntu, tapi setelah menangis, most of the time aku lelah dan lega. Kemudian, aku beristirahat dan akhirnya dapat kembali berpikir jernih, menyelesaikan masalah, dan mencari solusi.

Oiya, tentu saja menangisnya harus tahu waktu. Maksudku ya.. kemampuan menangis yang dibarengi kemampuan mengontrol emosi. Aku sendiri masih struggling untuk melakukannya dengan baik, tapi alhamdulillah it gets better over time I guess. Kalaupun belum selalu berjalan baik yaa memang it takes time, no?

Mungkin begitu coping menchanism-ku beberapa tahun terakhir: saat mau marah atau ngamuk karena lelah, kuambil jarak dari orang lain, mencari film sedih, lalu menangis sejadi-jadinya. Tentu saja aku menyebut nama Allah, istighfar, juga membaca Al-Qur'an. I did. I did them all as well. But sometimes it's not about labeling myself as a religious person or not; it's more about my own emotion and how I shouldn't let myself become numb. I'm only human after all. Of course I ask my God, Allah, to ease the pain, and I also have my own coping mechanism to continue living.

What about yours? I'd love to know your methods as well, you can comment down below.

Thank you for reading. See you in the next post, hopefully.


Source@thetinywisdom
#30haribercerita
#30hbc24
#30hbc2405

2 comments:

  1. Tidak menangispun juga tidak apa-apa, memang dewasa ini melelahkan tapi tidak apa-apa. Karena aku yang cengeng pun di bilang "bagaimana kamu kekanak-kanak an seperti saat sudah menikah??" regulasi emosi pun juga pelajaran .. Take you time author

    BalasHapus

Orek-Orekan Salma . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates