Kepada yang Jauh dan Masih Bersauh
Aku ingin bicara denganmu, berdua saja. Sebenarnya tidak banyak hal yang ingin kubicarakan, hanya beberapa. Sebab, ya kau tahu, selama ini aku tak sebanyak itu melakukan hal yang seru untuk dibicarakan. Seru.. maksudku, seru yang menyenangkan. Dari dulu, aku tidak bermimpi banyak. Mimpiku beberapa, kutulis satu dua. Bukan tak punya percaya bahwa aku bisa, tapi dulu aku entah bagaimana memimpikan sesuatu saja sulit. Tak banyak yang kuinginkan.
Bisa lancar di sekolah, sudah. Alhamdulillah.
Kupilih membaca sebagai hobi. Sebab di buku-buku SD-ku tersirat bahwa orang-orang pintar hobi membaca. Lalu kutemukan diriku ketagihan buku bacaan. Namun, satu hal yang seharusnya aku yakini dari awal: aku tidak sepintar itu.
Pasti selalu ada yang lebih baik, sekuat apapun setiap waktu dilakukan yang terbaik. Itu yang kupercayai sekarang.
Aku tidak menyalahkanmu. Meski cara berpikirmu saat itu memang salah, aku tidak menyalahkanmu. Yang lalu salah biarlah salah, itu masamu. Sudah cukup kutahu apa yang jauh lebih benar untukku kini. Sisanya biar dikoreksi dia yang lebih tua. Dia yang mengemban ekspektasi "versi yang lebih baik" dari sebelumnya.
Oh, itu bukan ekspektasi. Itu sudah barang pasti buat ajar diri. Sebab katanya, orang di dunia itu pemelajar sejati. Namun, tak banyak diucapkannya bahwa pemelajar juga berarti pembuat salah sejati.
Kesalahan seperti apa? Tentu saja yang kumaksud bukan kesalahan pasti yang membuat satu dunia membenci tanpa ampun, seperti hal-hal yang sudah diatur konstitusi maupun yang belum ada regulasinya sebab perkara birokrasi.
Ya intinya kesalahan sederhana yang tak seharusnya melipatgandakan pikiran burukku dan burukmu ke depan. Kusebut sajalah ia: bangun siang.
Aduh, jujur saja aku sedikit iri denganmu.
Bagaimana bisa kau dulu pagi jam tujuh, sepeda sudah rusuh kau kayuh, berlari sampai berpeluh, mengulang hampir setiap harinya dengan menempuh total kilometer berpuluh-puluh??
Belum berhenti.
Bagaimana bisa pula kau dulu pagi jam lima, tiada tidur kedua setelahnya, mengambil urutan mandi pertama, bahkan belum tiba di sekolah pun buku matematika sudah kau baca??
Gila. Aku pengagummu paling setia. Meski bagi beberapa orang mungkin ini perihal bukan apa-apa, peduli apa. Barangkali memang seperti inilah caraku menghargaimu, menghargai cara bertahanmu dahulu. Ya, dahulu. Sebab mau seberapa baru kuulang-ulang rekaman ingatan tentangmu, hakikatnya kau sudah jauh dari waktuku kini berada.
Terima kasih kepada neuron lembut yang kuat-kuat terpaut dalam kepala. Olehnya, tentangmu aman dalam ingatan yang paling lama bertahan.
Pada akhirnya, iri memang bukan perkara baik. Sebaik-baiknya aku mengingatmu, banyak waktu aku berakhir mengerikan. Bagaimana tidak? Orang-orang di sekitarku tak jarang seketika takut padaku. Berpasang-pasang mata itu menafsirkanku dalam mode tak bisa diganggu, tak bisa disentuh, tak bisa diajak bicara. Memang benar adanya, orang-orang itu mengenalku. Begitulah acap kali entah bagaimana aku menaruhmu dalam kompetisi rupa-rupa dan lagi-lagi kau juaranya.
Kelelahan. Kepercayaan diri jadi reruntuhan. Ketakutan.
Barangkali itu sebabnya sekali sisi berani berapi-api, aku menulis. Aku mencatat bagaimana melewati satu dua cemas dengan puas. Itupun kau yang memulainya, kau yang membuat surat. Kau pikir akan bagus membantu hipokampus menaruh rapi impi-impi. Kau harap saat kubaca, dibakarnya pikiran negatif yang kurang ajar. Dan ya, itu bekerja. Meski tidak seberapa, tapi aku menikmatinya. Meski tidak seberapa, hal buruk tertunda karenanya.
Yang hidup di dunia yang lebih baik. Yang hidup dengan lebih baik di dunia. Semoga itu, dirimu.
Selamat ulang hari.
Selamat ulang minggu.
Selamat ulang bulan.
Selamat ulang tahun.
#30haribercerita
#30hbc2111