Kamis, 24 September 2020


"Kau tahu angsana di fakultas itu gugur lebih cepat?"

"Iya, tahun lalu. Entah tahun ini."

"Iya, ya. Pandemi membuat kampus ini jauh lebih sepi."

"Yah, mau bagaimana lagi. Kalau ramai, aku malah waswas berdiri di sini."

"Padahal kita senang ya setahun lalu berdiri di sini, berfoto bersama guguran bunga."

"Hmm angsana di sini pasti kesepian."

"Kesepian atau tak kesepian pun angsana itu tetap tumbuh sendiri."

"Maksudnya?"

"Angsana itu, seperti kita."

"Kita?"

"Iya kita, manusia."

"Lalu?"

"Angsana itu tidak akan saling menunggu, siapa mekar lebih cepat, siapa gugur lebih lambat. Tanpa kita lewati setiap hari, jalanan itu pada waktunya akan dihujani bunga angsana lagi. Guguran yang tetap indah meski hanya sedikit bahkan tiada orang menikmati."

"Lalu apa hubungannya dengan kita?"

"Angsana itu tumbuh, berbunga, mengering, mati, dan semua itu terjadi dengan waktunya sendiri-sendiri. Lihat saja. Di sini daun angsana masih menghijau, di sana tinggal ranting. Seperti manusia. Kita juga lahir, hidup, meninggal dengan jatah waktu kita masing-masing. Kita tidak menunggu jatah waktu tiap momentum kehidupan itu tiba. Kita ya, hidup, menghidupi perjalanan dengan jatah waktu sendiri-sendiri."

"Hmm.."

"Yah, mungkin itu petuah basi dan kau sudah dengar berkali-kali. Namun, kukatakan sekali lagi supaya mungkin, suatu hari ketika harimu berat dan tiada yang melipurmu dari penat, segala tanda dari semesta ini bisa membuatmu ingat."

"Hmm iya, iya. Kalau begitu, segala kehidupan di dunia ini bekerja serupa perumpamaan angsana itu, kan?"

"Iya, tapi kita manusia sebagai makhluk yang bisa merasa, terkadang yang sulit adalah menerima, ya."

"Menerima apa?"

"Menerima bahwa waktu kebahagiaan dan kesedihan kita berbeda-beda."

"Misalnya, aku seperti angsana yang menghijau ini, sedangkan kau seperti angsana yang tinggal ranting itu?"

"Benar. Waktu kita tumbuh dan gugur berbeda."

"Tapi tentu saja masing-masing manusia ibarat bunga yang jenisnya beda-beda, kan? Tidak semuanya mekar jadi angsana."

"Tentu. Kita juga punya banyak perbedaan tipe, dunia ibarat taman yang permai. Apalagi kalau suasana tamannya damai, tiada anak kecil sedang bertengkar."

"Hmm iya. Kita punya hidup sendiri, tapi juga hidup bersama manusia lain."

"Memang."

"Memang dasar angsana! Mengunjunginya kali kedua bikin bicara sampai mana-mana. Hahaha."

"Kan sudah kubilang. Semesta selalu punya tanda seperti sedang bercerita."

"Benar juga. Dari mana semudah itu kau baca tanda semesta. Pengalamanmu ya?"

"Ya, entahlah, tapi pengalaman memang dosen terbaik dan cerita semesta jadi mata kuliah paling menarik, bukan?"

"Hm sepakat, setidaknya sampai semester ini."

"Nah itu. Kau benarkan juga pernyataanku. Pengalaman juga?"

"Ih. Senang ya bisa skakmat begitu."

"Maaf, maaf, aku bermaksud sengaja. Hahaha."

"Malah ketawa."

"Hahaha, tapi aku bukan sengaja begitu saja. Memang, menerima kenyataan tak selalu terasa nyaman. Akui saja tak apa, lagipula pengalaman itu juga perjalananmu sampai hari ini. Aku tidak tertawa untuk pengalamanmu, aku menertawai responmu. Hahaha. Maaf kalau aku terlalu menyinggung. Maaf betulan ini."

"Tiada maaf sebelum?"

"Haduh, dasar temen. Ya sudah, ayo."

"Ayo?"

"Ayo ke es buah."

"Yes! Ayo!!"

Orek-Orekan Salma . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates