Cerita dari Matcha
Yang berubah dariku akhir-akhir ini adalah ternyata aku bisa menikmati matcha. Dulu, menurutku matcha tidak lebih seperti sari daun hijau. Rasanya tidak pahit, tapi juga kurang bisa dibilang manis. Pokoknya, prinsipku dulu tidak bisa menerima segala jenis menu matcha, seperti sore itu.
"Maaf mbak, saya ga pesen matcha latte. Pesennya iced latte biasa," kataku ke pelayan kafe.
"Oh maaf, Kak, ini betul atas nama Kak Aksa?"
"Iya bener."
"Oke, Kak, mohon maaf kami salah tulis pesanan. Mohon ditunggu untuk iced latte-nya ya, Kak."
Belum sampai pelayan tadi beranjak pergi, seorang perempuan yang duduk di meja sebelahku berdiri dan berkata, "Mbak, itu matcha latte-nya kalau buat aku aja boleh? Tadi belum order soalnya masih nungguin temen."
"Oiya, boleh, Kak. Ini silakan. Atas nama Kak siapa?"
"Atas nama Nara."
Begitulah aku tahu namanya, dari kisah salah pesanan. Kukira, kisahnya berhenti sampai di situ.
"Mas Aksa ga suka matcha ya?"
Sontak aku kaget seseorang memanggil namaku. Tiba-tiba saja dia, perempuan yang baru saja mengambil alih pesanan matcha latte itu, mengajakku ngobrol. Dia tampak santai dan tidak ragu. Untukku yang malas basa basi, dia orang yang supel.
"Iya, ga suka."
"Masnya kerja atau kuliah?"
"Kuliah, tapi belum masuk, baru keterima tahun ini."
"Oh sama, Mas, aku maba juga. Kuliah di kampus seberang kafe ini?"
"Iya, mbaknya juga?"
"Iya, Mas, hahahaha ternyata seangkatan dan sekampus. Eh jangan manggil mbak, orang seumuran. Nara aja."
"Jangan manggil mas juga kalau gitu. Aksa aja."
"Oiya, hahahaha. Oke-oke, Aksa."
Begitulah kisah salah pesanan tadi berlanjut. Tentang teman yang sudah dia tunggu, orangnya tidak jadi datang. Jadilah dia menggeser kursinya di depan mejaku dan kami terus mengobrol. Ternyata dia orang asli kota ini, aku mendapat banyak info penting dari ceritanya. Untuk seorang maba alias mahasiswa baru, aku tidak keberatan dengan sifat supelnya itu. Mungkin waktu itu, aku merasa senang saja punya kenalan baru di kota rantau.
Perasaan senangku itu ternyata terus bertumbuh. Nara adalah perempuan yang membuatku nyaman. Nyaman sebagai teman ngobrol, makan, jalan-jalan, mengerjakan tugas, juga bekerja dalam tim. Banyak kegiatan kulalui bersama Nara, aku jadi teringat pepatah Jawa, "Witing tresno jalaran soko kulino" yang artinya munculnya cinta karena terbiasa. Cinta ya? Hmm kalau ditanya begitu, aku selalu menjawabnya dengan kemungkinan-kemungkinan. Mungkin ini hanya perasaan sesaat. Mungkin kalau disebut "cinta", masih kejauhan. Lagipula cinta itu seperti apa? Yang kutahu waktu itu, aku dan Nara berteman baik dan tidak ada satu pun dari kami keberatan dengan hubungan seperti itu. Setidaknya sampai di tahun ketiga kuliah itu.
"Ra, nanti sore jadi belanja bahan?"
"Jadi dong, nanti jam setengah empat paling."
"Oke, ada temennya kan?"
"Iya, nanti barengan bertiga sama Caca, sama Fifi."
"Oke sip ati-ati. Ntar sore aku juga mau ambil MMT sama Ardian."
"Okeee, Bos."
Sore itu, aku, Nara, dan teman-teman satu kepanitiaan sedang persiapan H-7 acara. Aku sering ada kegiatan bersama Nara. Apalagi kami bergabung di beberapa projek dan organisasi yang sama. Ada suatu momen saat menyiapkan acara sore itu, aku menyadari betapa aku tidak ingin kehilangan Nara. Aku menyadari sesuatu yang tumbuh menyakitkan, tapi tidak ingin kulepaskan.
Sambil duduk menunggu antrian di toko percetakan MMT, tiba-tiba Ardian berkata padaku, "Sa! Udah tahu belum? Nara pingsan di toko grosir."
"Hah? Ada Caca sama Fifi kan di sana?"
"Ngga, Sa, mereka berdua ga bisa berangkat. Nara berangkat sendiri. Ini dari tadi Efi udah ngabarin di grup."
"Dari tadi? Terus sekarang Nara sama siapa? Udah ada yang nyusul ke sana?"
"Ini tadi 6 menit yang lalu, katanya Efi udah ke sana. Anak konsumsi lain mau pada nyusul juga ini katanya. Mau nyusul juga, Sa?"
"Habis dari sini aja sama lo, gimana?"
"Oke siap."
Setiap orang tidur pasti terlihat kasihan, begitu kata guru bahasa Indonesiaku dulu waktu SMA. Begitulah pula bagaimana aku melihat kondisi Nara waktu itu. Dia berbaring di atas sofa dalam ruang istirahat staf toko grosir berukuran 3 x 4 meter. Ada Efi di sampingnya sedang mengipasi Nara yang belum sadarkan diri. Aku tahu, tidak lama lagi Nara pasti bangun, tapi kepalaku terlanjur penuh cemas dengan tanya-tanya kenapa. Kenapa Nara bisa sampai seperti itu, tapi aku tidak tahu? Kenapa ketika Nara sedang sendirian dan butuh teman, tapi aku tidak ada di sampingnya? Nara menganggapku seperti apa?
Aku sendiri menganggap Nara siapa? Tepat di saat itulah aku menyadari bahwa aku bukan menyukai Nara sebagai teman biasa, bukan. Perasaan ini lebih dari itu. Bisa kubilang, aku menyukainya sebagai teman dekat yang tidak akan kubiarkan sendirian waktu dia menghadapi kesulitan. Aku menyukai Nara sebagai teman dekat yang ingin kudengarkan apapun ceritanya. Aku menyukai Nara sebagai teman dekat yang aku tidak ingin dia sungkan untuk meminta bantuanku. Aku menyukai Nara sebagai teman dekat yang dekatnya tidak pernah kembali berjauhan. Aku menyukai Nara dan ingin menghabiskan waktu bersamanya sebanyak mungkin, kalau bisa selamanya.
Kenyataannya, selamanya itu tidak pernah ada.
"Sorry, Sa, aku begadang waktu itu ngerevisi rencana anggaran buat konsumsi. Semaleman ga tidur, mana paginya ga sarapan juga."
Aku mendengarkan Nara, tapi tidak melihatnya. Aku diam saja menatap laptop, membuka Microsoft Word dan tidak mengetik apapun.
"Aku tahu, Sa, aku salah. Maafin dong, jangan marah."
Aku tidak marah. Aku tidak menyuruh Nara minta maaf. Aku hanya kesal. Aku kesal dengan diriku sendiri. Aku khawatir Nara lebih kenapa-napa dari pingsan di keramaian dan aku tidak ada di sana. Aku khawatir Nara tak sadarkan diri, tak ada seorang pun menolongnya, dan dia... ah sial, aku khawatir berlebihan.
Aku mematikan laptop, menutupnya. Aku menghela napas dalam lalu melihat lurus pada Nara. "Jadi, sejak kapan punya maag?"
Kepala Nara yang menunduk langsung terangkat. "Kok tau, Sa, aku punya maag?"
"Kata Efi."
"Oh iya itu, ga lama sih, dari SMA." Nara kembali menunduk seperti siap mendengar omelanku.
"Ra, lihat depan, jangan nunduk. Aku mau ngomong serius."
"Kayanya dari tadi aku ngomong serius juga ga diliat."
"Ra."
"Iya iya, ini udah tak liatin ni, gimana?"
"Aku suka kamu, Ra."
Nara diam sejenak dan tampak tidak percaya. "Maksudnya?"
"Dari awal ketemu waktu kamu ambil pesanan matcha latte yang salah itu, terus ngobrol, ngobrol, ngobrol dan sampe temenan kaya sekarang, aku sadar ini udah bukan perasaan buat temen biasa. Kemarin, waktu dapet kabar kamu pingsan dan baru tau kamu jadinya beli bahan sendirian, aku sedih, Ra. Bahkan baru aja aku tahu kalau ternyata kamu punya maag padahal sering telat makan. Aku sedih aku belum cukup bisa diandalkan waktu kamu butuh teman. Aku tahu kamu bisa sendiri, tapi aku ga bisa berhenti khawatir kalau kamu lagi kesulitan kaya kemarin. Aku pengen ada buat kamu, Ra."
Nara masih memasang wajah tidak percaya. Entah apa yang dipikirkannya dan apa yang akan dia katakan. Aku sudah siap dengan segala responnya. Aku tidak memaksanya. Aku tidak meminta jawabannya. Aku hanya mengungkapkan, confession pertama kepada perempuan yang kusukai.
"Aksa, aku mau ke kamar mandi bentar."
"Iya, Ra."
Perempuan yang kusukai itu butuh waktu. Mungkin hari itu Nara memang kaget. Dia datang menemuiku dengan niat hati ingin bicara tentang dia yang pingsan tempo hari dan aku yang jadi sering diam padanya. Sedangkan aku diam-diam menyiapkan diri untuk menyatakan perasaan. Apapun yang terjadi, aku tidak menyesali hari itu.
Nara kembali dari kamar mandi dan duduk di hadapanku. Dia sudah tampak lebih tenang dari sebelumnya. Dia tersenyum padaku, senyum yang manis sekali.
"Aksa, makasih ya sebelumnya udah jujur. Makasih juga udah menyukaiku. Selama ini aku juga seneng temenan sama kamu. Maaf kalau aku udah bikin kamu sedih dan khawatir. Buat perasaan yang tadi kamu sampein, aku mau tanya dulu boleh?"
"Tanya aja, Ra."
"Kenapa aku, Sa? Kenapa menyukaiku?"
Giliran aku yang tersenyum. Aku sudah menyiapkan kisi-kisi pertanyaan yang akan ditanyakan Nara dan satu pertanyaan itu beneran keluar.
"Karena Nara orangnya. Orang yang nyaman denganku ngobrol basa basi, diskusi tentang isu serius maupun kabar burung sana sini, makan di mall maupun lesehan pinggir jalan, dan hal-hal lain selama ini aku ingin menjalaninya lebih lama lagi bareng kamu, Ra, dengan status hubungan yang lebih dekat."
"Kalau hanya menjalani kaya selama ini emang kenapa?"
"Selama ini, aku belum cukup untuk kamu merasa sedekat itu sama aku, Ra."
Nara kembali diam. Bola matanya berputar memandang langit-langit sekitar. Mungkin seperti kepalanya juga yang sedang memutar otak, memikirkan respon apa yang jujur dan tetap enak kudengar. Aku sendiri mengerti Nara sedang ragu, meragukanku. Apa aku tidak terlihat sungguh-sungguh? Tidak, saat itu sudah bukan lagi waktu untukku merasa kurang percaya diri. Apapun itu, aku menghormati keputusannya. Aku percaya Nara. Dia juga mengerti apa yang terbaik untuknya waktu itu.
"Aksa, maaf, aku ga punya perasaan yang sama seperti yang kamu sampaikan. Aku seneng dengan pertemanan ini, tapi aku ga pernah melihatnya lebih jauh dari ini."
Hening. Aku dan Nara sama-sama mencerna apapun percakapan yang terjadi malam itu dalam diam. Mungkin aku yang salah perkiraan, mengartikan semua sikap Nara selama ini dengan perasaan berlebih. Padahal Nara tidak mengganggapnya lebih dari teman biasa.
"Setelah ini kita masih temenan kaya biasanya kan, Sa?"
Aku juga sudah menduga pertanyaan Nara barusan. Namun, aku tidak tersenyum seperti sebelumnya. Tidak kusangka mendengarnya langsung terasa menyakitkan. Aku menenggak es latte tanpa gula yang sudah kupesan. Pahit, seperti pertanyaan Nara barusan. Bagaimana bisa aku ngobrol santai, becanda, makan dan nongkrong bersama, sesekali memberi perhatian lebih, mengantar jemput Nara dengan mengorbankan perasaan sendiri yang tumbuh begitu menyakitkan?
"Aku ga tau, Ra. Aku ga tau apakah tetep bisa biasa aja setelah ini. Aku ga menyesali apapun yang terjadi malem ini. Aku lega kamu bisa tahu langsung dari aku. Setelah ini, kita lihat aja ya gimana, tanpa memaksakan apapun?"
"Aku bakal sedih kalau kehilangan temen kaya kamu, Sa."
Aku juga sedih, Ra, sejak saat itu juga. Kami sama-sama tidak ingin kehilangan satu sama lain. Namun, kami juga tidak bisa menjadi lebih dari teman untuk satu sama lain.
Seusai malam itu, kami berusaha bersikap seperti biasa, meski ada perasaan canggung luar biasa tiap kali ketemu langsung. Teman-teman satu kepanitiaan juga menyadari jarak itu. Namun, jujur sulit untuk tetap menjadi Aksa seperti biasanya tanpa menghiraukan perasaan yang belum lama dipangkas paksa. Tidak ada satu pun yang membuatku menyesal, tapi kesedihan dari patah hati tidak bisa disangkal. Barangkali dengan begitu kata-kata Einstein terbukti benar: "Yang pasti adalah ketidakpastian." Bertahun-tahun berteman dengan Nara, tidak pasti hubungannya akan tetap sama.
Pertemuan terakhirku dengan Nara ada di satu malam pembubaran panitia proyek bersama kami yang terakhir. Percakapan malam itu, bisa dibilang kontak terakhirku dengan Nara. Setidaknya malam itu, Nara tampak bahagia.
"Aksa, habis kepanitiaan ini selesai, akhir bulan ini, aku mau ke Thailand."
"Thailand?? Jauh banget, Ra, acara apa?" balasku.
"Aku keterima magang di kedutaan besar Indonesia di sana, Sa. Doain, ya."
Melihat Nara, aku hanya tersenyum malam itu. Dalam hati, aku bangga sekali. Aku tidak bisa berhenti menyukai Nara begitu saja. Nara pun tidak bisa membuka hatinya untukku begitu saja. Antara kita adalah emosi statis yang konstan menciptakan jarak saling berjauhan. Untuk kembali berteman seperti biasa, sayangnya tidak satu pun dariku atau Nara mampu melakukannya dengan baik. Meski menyedihkan, akhirnya membuat jarak menjadi pilihan yang kami butuhkan untuk menerima perasaan masing-masing saat itu.
"Kamu akan baik-baik saja kan di sana?"
Adalah pertanyaan paling sering bermunculan di kepalaku sejak ia pergi dari kota ini. Pertanyaan yang tak pernah kuucapkan. Pertanyaan yang dilanjutkan sesi berkompromi dengan Tuhan untukku mengurangi kekhawatiran. Aku tidak memaksakan pertemuan maupun balasan perasaan pada Nara, hanya membiasakan perasaan dengan bekas luka.
Tiga tahun berlalu sejak percakapan terakhirku dengan Nara. Sekarang, aku bisa menikmati matcha. Sensasi meminum sari daun hijau tidak lagi menggangguku. Rasanya memang tidak pahit dan tidak terlalu manis, tapi rasanya yang ringan dan segar ternyata cocok di lidahku. Setelah menjadi matcha latte, tekstur sedikit kental dan rasa sedikit creamy perlahan menggantikan posisi ketergantunganku pada kopi.
Aku tidak sedang bicara tentang pengkhianatan. Apa yang berubah dariku akhir-akhir ini ada beberapa, kecuali bagaimana aku melihat Nara. Aku tetap melihatnya sebagai sosok yang sama sejak bertahun-tahun lalu. Yaa tidak sama persis sih, sekarang sudah menjadi perasaan yang lebih baik dan aman. Aku cukup senang jika melihatnya senang dan berdoa ia akan baik-baik saja jika melihatnya susah hati.
Aku masih menyukainya, meski dia tidak. Dan itu tidak masalah.
Aku masih menyukainya karena aku terbiasa begitu. Ini mungkin terdengar cringe, tapi aku sudah tidak peduli dan lebih mencoba jujur tentang apa yang masih tersisa di sarang perasaan yang telah tumbuh dari sekian tahun lalu. Aku tidak membuang perasaan indah-tapi-rapuh ini begitu saja. Malah hancur menyakitkan jika dilepas paksa.
Antara aku dan Nara adalah emosi statis yang konstan menciptakan jarak saling berjauhan. Namun, hari ini jarak itu sedikit berkurang. Akhirnya, hari ini datang. Satu hari yang aku antisipasi selama ini tiba, hari pernikahanku dan dia ada di hadapanku sebagai tamu.
"Selamat ya, Aksa, semoga bahagia terus," ucap Nara di pernikahanku.
"Makasih udah dateng, semoga bahagia juga kalian," balasku di hadapan Nara dan pasangannya.
Aku masih menyukainya sebagai alasanku terus percaya pada masa depan. Percaya bahwa terus berjalan ke depan meski ada rasa tidak nyaman adalah cara terbaik menerima kenyataan. Percaya bahwa tidak bersamanya bukanlah akhir dari hari-hari menyenangkan. Percaya bahwa apapun nanti ada yang berubah, ia akan baik-baik saja dan aku pun.
Aku masih menyukainya sebagai hal-hal menyenangkan dalam bentuk lain yang lebih baik dan aman, meski dia tidak. Dan itu tidak masalah. Segalanya bisa berubah, itu pasti. Namun, untuk hari ini, aku tidak ingin menduga apapun. Menghidupi waktu sekarang sebaik mungkin menjadi amunisi melanjutkan hari esok, sepahit apapun hal-hal yang terjadi di masa kemarin.